Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan Indonesia yang menapaki jalan berliku. Pilihan hidupnya menjadi anggota pengurus (Lembaaga Kebudayaan Rakyat) disingkat Lekra. Sebuah gerakan kebudayaan yang ada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia.
Sekitar tahun 1960-an, kondisi kebudayaan Indonesia mengalami diskursus yang hebat. Para seniman dan budayawan terkumpul dalam dua kutub kuat yang saling berseberangan yaitu Lekra dan Manikebu. Pada masa itu, sastra juga kesenian dan kebudayaan lainnya menjadi alat politik dan menjadi alat ideologi.
Di satu sisi, lembaga kesenian yang dimiliki oleh partai politik menjadi pendorong utama identitas seni dan budaya Indonesia. Di sisi lain, keberadaan lembaga kesenian di bawah atau berafiliasidengan partai politik menjadikan lembaga kesenian tersebut sebagai alat politik. Tidak murni sebagai lembaga 'pengatur' dan penggerak kesenian, tetapi juga sebagai media dan penggerak pengalangan dana.
Karya sastra yang diciptakan kala itu memiliki dua tendensi besar. Yaitu karya sastra dan karya seni yang ditulis dan dikaryakan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra umumnya menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat secara vulgar. Hal ini didasari prinsip seni mereka yang mengatakan 'seni untuk rakyat'.
Di lain sisi, seniman dan sastrawan yang tidak menyetujui konsep seni untuk rakyat menyanggah dengan argumen bahwa 'seni untuk seni'.
Pernyataan seni untuk rakyat maksudnya setiap hasil karya seni, baik seni sastra, lukis, dan hasil kebudayaan lainnya harus memunculkan dan menyuarkan kepentingan rakyat. Bukan sekadar menghibur rakyat. Sementara, konsep seni untuk seni memiliki argumentasi bahwa keindahan seni juga harus ditonjolkan, bukan semata mengutamakan 'suara rakyat' lantas meninggalkan konsep kesenian itu sendiri.
Lekra, lembaga kebudayaan tempat Pram (sapaan Pramoedya Ananta Toer) menyatakan diri sebagai lembaga yang revolusioner. Sikapnya tersebut didukung penuh oleh pemerintah Soekarno. Akibatnya, jagat seni dan sastra Indonesi kala itu 'dikuasai' oleh seniman-seniman Lekra.
Konsep berkesenan ala Lekra yang mengusung ide-ide komunis dan 'anti Tuhan' ini bahkan menyebar ke seluruh desa. Bahkan di dekat rumah penulis, ada pertunjukan wayang dengan lakon 'Gusti Alah Kalah'. (Didasarkan pada cerita dari Orang Tua penulis yang sudah lahir sejak zaman Belanda). Lakon 'Petruk Dadai Ratu' juga gencar sekali dilakonkan pada masa itu karena sebagai simbol orang kecil (rakyat) yang berkuasa. Ide-ide komunisme.
Seiring tejadinya geger pada 1965 yang berdampak pada dilarangnya partai dan ideologi Komunis di Indonesia, orang-orang PKI dan penganut komunisme sebelumnya juga ditahan, dieksekusi, dan dipenjara tanpa peradilan yang terbuka. Pramoedya Ananta Toer salah satunya.
Sebagai pimpinan di Lekra, cap PKI otomatis menempel pada dirinya. Pramoedya Ananta Toer kemudian dipenjara sebagai Tapol (tahanan politik) di Pulau Buru. Sebuah pulau 'liar' yang harus dibuka hutannya oleh para tahanan. Seorang sastrawan terkemuka yang awalnya menjadi tokoh yang disegani, kemudian menjadi tahanan yang harus kerja keras sebagai pesakitan.
Hebatnya, Pram tidak menyerah (begitu menurut penuturan beberapa teman sepenejara Pram di Pulau Buru). Dia menjalani hukumannya. Sebagai seorang sastrawan, Pram tidak kehilangan akal dan daya kreasinya. Karena tidak memiliki media untuk menulis, Pram berkarya dan berimajinasi kemudian garis besar ceritanya dituturkan secara lisan kepada kawan-kawannya sesama tapol di Pulau Buru.
Selanjutnya, setelah Pram diizinkan menulis, dia difasilitasi mesin ketik. Kawan-kawan sesama tapol menyediakan kertas untuk Pram. Karena kondisi yang terbatas, kawan-kawan Pram mengguntingi kertas bekas bungkus semen sebagai media untuk Pram menulis.
Tidak hanya menyediakan kertas, para kawan tapol yang kemudian 'menyelamatkan' naskah karya Pram di Pulau Buru. Hingga akhirnya bisa diterbitkan dan dibaca oleh seluruh penikmat sastra Indonesia bahkan dunia.
Pram bebas, tetapi Pram tidak mau berterima kasih kepada pemerintah sebelum dipulihkan namanya. Pernyataan ini yang disayangkan oleh sebagian orang. Pram masih menyimpan dendam masa lalu.
Terlepas dari itu, Indonesia pernah punya sastrawan sekaliber Pramudya Ananta Toer.
Sekitar tahun 1960-an, kondisi kebudayaan Indonesia mengalami diskursus yang hebat. Para seniman dan budayawan terkumpul dalam dua kutub kuat yang saling berseberangan yaitu Lekra dan Manikebu. Pada masa itu, sastra juga kesenian dan kebudayaan lainnya menjadi alat politik dan menjadi alat ideologi.
Di satu sisi, lembaga kesenian yang dimiliki oleh partai politik menjadi pendorong utama identitas seni dan budaya Indonesia. Di sisi lain, keberadaan lembaga kesenian di bawah atau berafiliasidengan partai politik menjadikan lembaga kesenian tersebut sebagai alat politik. Tidak murni sebagai lembaga 'pengatur' dan penggerak kesenian, tetapi juga sebagai media dan penggerak pengalangan dana.
Karya sastra yang diciptakan kala itu memiliki dua tendensi besar. Yaitu karya sastra dan karya seni yang ditulis dan dikaryakan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra umumnya menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat secara vulgar. Hal ini didasari prinsip seni mereka yang mengatakan 'seni untuk rakyat'.
Di lain sisi, seniman dan sastrawan yang tidak menyetujui konsep seni untuk rakyat menyanggah dengan argumen bahwa 'seni untuk seni'.
Pernyataan seni untuk rakyat maksudnya setiap hasil karya seni, baik seni sastra, lukis, dan hasil kebudayaan lainnya harus memunculkan dan menyuarkan kepentingan rakyat. Bukan sekadar menghibur rakyat. Sementara, konsep seni untuk seni memiliki argumentasi bahwa keindahan seni juga harus ditonjolkan, bukan semata mengutamakan 'suara rakyat' lantas meninggalkan konsep kesenian itu sendiri.
Lekra, lembaga kebudayaan tempat Pram (sapaan Pramoedya Ananta Toer) menyatakan diri sebagai lembaga yang revolusioner. Sikapnya tersebut didukung penuh oleh pemerintah Soekarno. Akibatnya, jagat seni dan sastra Indonesi kala itu 'dikuasai' oleh seniman-seniman Lekra.
Konsep berkesenan ala Lekra yang mengusung ide-ide komunis dan 'anti Tuhan' ini bahkan menyebar ke seluruh desa. Bahkan di dekat rumah penulis, ada pertunjukan wayang dengan lakon 'Gusti Alah Kalah'. (Didasarkan pada cerita dari Orang Tua penulis yang sudah lahir sejak zaman Belanda). Lakon 'Petruk Dadai Ratu' juga gencar sekali dilakonkan pada masa itu karena sebagai simbol orang kecil (rakyat) yang berkuasa. Ide-ide komunisme.
Seiring tejadinya geger pada 1965 yang berdampak pada dilarangnya partai dan ideologi Komunis di Indonesia, orang-orang PKI dan penganut komunisme sebelumnya juga ditahan, dieksekusi, dan dipenjara tanpa peradilan yang terbuka. Pramoedya Ananta Toer salah satunya.
Sebagai pimpinan di Lekra, cap PKI otomatis menempel pada dirinya. Pramoedya Ananta Toer kemudian dipenjara sebagai Tapol (tahanan politik) di Pulau Buru. Sebuah pulau 'liar' yang harus dibuka hutannya oleh para tahanan. Seorang sastrawan terkemuka yang awalnya menjadi tokoh yang disegani, kemudian menjadi tahanan yang harus kerja keras sebagai pesakitan.
Hebatnya, Pram tidak menyerah (begitu menurut penuturan beberapa teman sepenejara Pram di Pulau Buru). Dia menjalani hukumannya. Sebagai seorang sastrawan, Pram tidak kehilangan akal dan daya kreasinya. Karena tidak memiliki media untuk menulis, Pram berkarya dan berimajinasi kemudian garis besar ceritanya dituturkan secara lisan kepada kawan-kawannya sesama tapol di Pulau Buru.
Selanjutnya, setelah Pram diizinkan menulis, dia difasilitasi mesin ketik. Kawan-kawan sesama tapol menyediakan kertas untuk Pram. Karena kondisi yang terbatas, kawan-kawan Pram mengguntingi kertas bekas bungkus semen sebagai media untuk Pram menulis.
Tidak hanya menyediakan kertas, para kawan tapol yang kemudian 'menyelamatkan' naskah karya Pram di Pulau Buru. Hingga akhirnya bisa diterbitkan dan dibaca oleh seluruh penikmat sastra Indonesia bahkan dunia.
Pram bebas, tetapi Pram tidak mau berterima kasih kepada pemerintah sebelum dipulihkan namanya. Pernyataan ini yang disayangkan oleh sebagian orang. Pram masih menyimpan dendam masa lalu.
Terlepas dari itu, Indonesia pernah punya sastrawan sekaliber Pramudya Ananta Toer.